Laman

Sabtu, 08 Desember 2012







TUGAS HUKUM DAGANG
TENTANG PERUSAHAAN TIDAK BERBADAN HUKUM






        

PERUSAHAAN



Dalam menjalankan bisnisnya, berbagai bentuk usaha ditempuh oleh pebisnis sesuai dengan sifat dan hakikat dari bisnis tersebut. Karenanya, sejak ratusan tahun yang silam telah terbentuk berbagai bentuk usaha yang maju dan mundur sesuai dengan perkembangan zaman. Dewasa ini ada berbagai bentuk perusahaan, yang masing – masing memiliki karakteristik yang berbeda, di mana dalam bidang ini, hukum sangat intens mengaturnya. Oleh sebab itu, setelah diuji oleh perkembangan zaman, maka terbentuklah seperangkat aturan hukum yang mngatur tentang berbagai bentuk perusahaan, dengan berbagai konsekuensi dan liku-liku yuridisnya.
perusahaan adalah suatu kegiatan dalam bidang perekonomian yang dilakukan secara berkelanjutan oleh pelaku untuk mendapatkan keuntungan. Adapun molengraaf berpendapat bahwa perusahaan adalah keseluruhan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus, bertindak keluar untuk mendapatkan penghasilan dengan cara memperniagakan barang-barang/mengadakan perjanjian perdagangan.
Adapun dalam pasal 1 Huruf b Undang-Undang No.30 Tahun 1982 tentang wajib daftar perusahaan menjelaskan bahwa perusahaan bersifat tetap, terus-menerus, dan memperoleh keuntungan. Sedangkan dalam pasal 1 butir 2 UU No. 8 Tahun 1997 tentang dokumen perusahaan mejelaskan bahwa unsur-unsur perusahaan adalah :
•    Bentuk Usaha (perseorangan / Badan Usaha)
•    Melakukan kegiatan secara terus menerus dan tetap
•    Bertujuan untuk mencari keuntungan
Pada hakikatnya secara umum perusahaan itu terbagi menjadi dua bentuk, yaitu perusahaan yang berbadan hukum dan perusahaan yang tidak berbadan hukum. Perusahaan berbadan hukum terbagi menjadi 4, yaitu :
•    Perseroan Terbatas (PT)
•    Koperasi
•    Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
•    Badan Usaha Milik Daerah (BUMD)
Sedangkan perusahaan yang tidak berbadan hukum terbagi menjadi tiga, yaitu :
•    Maatschap
•    Firma (FA)
•    Commanditaire vennotschap (CV)
Guna mempertajam pembahasan maka diperlukan pembahasan secara terperinci, maka daripada itu pembaasan kita pada saat ini hanya terfokus pada perusahaan yang tidak berbadan hukum saja.
A.    PERSEKUTUAN PERDATA
I.    Pengertian
Persekutuan perdata adalah perjanjian antara dua orang atau lebih yang mengikat diri untuk memasukkan sesuatu (inbreng) ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang diperoleh karenanya (Pasal 1618 KUHPerdata)
II.    Dasar hukum
Persekutuan Perdata diatur dalam Pasal 1618 – 1652 KUHPerdata
III.    Unsur
Dengan melihat pengertian dalam pasal 1618 KUHPerdata maka di dalam persekutuan perdata terdapat beberapa unsur, yaitu:
1.    Dasar pembentukannya adalah perjanjian timbal balik
2.    Adanya Inbreng (Pasal 1619 KUHPerdata) artinya masing-masing sekutu diwajibkan memasukan uang, barang-barang dan lainnya ataupun kerajinannya ke dalam perseroan itu. Wujud dari inbreng, dapat berupa :
a.    Uang
b.    Barang
c.    Tenaga
3.    Dengan tujuan membagi keuntungan antara orang-orang yang terlibat.
IV.    Hubungan intern bersifat kepribadian
Persekutuan perdata merupakan perjanjian antara dua orang atau lebih di mana masing-masing orang saling mengenal secara pribadi karena pribadi dari masing-masing anggota / sekutu masih memegang peranana penting. Hal ini berbeda dengan perseroan terbatas (PT) yang tidak memperdulikan siapa-siapa saja yang memasukkan modalnya, akibatnya mereka tidak saling mengenal.
V.    Cara mendirikan persekutuan perdata
Menurut pasal 1618 KUHPerdata, persekutuan perdata sisirikan atas dasar perjanjian dan tidak diharuskan secara tertulis sehingga perjanjiannya bersifat konsensual. Perjanjian mulai berlaku sejak saat perjanjian itu menjadi sempurna atau sejak saat yang ditentukan dalam perjanjian. (Pasal 1624 KUHPerdata)
VI.    Syarat-syarat mendirikan persekutuan perdata
Ada beberapa syarat yang harus dilakukan dalam hal pendirian persekutuan perdata, yaitu :
a.    Perjanjian untuk mendirikan persekutuan perdata harus memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata.
b.    Tidak dilarang oleh hukum
c.    Tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum
d.    Harus merupakan kepentingan bersama yang dikejar.
VII.    BENTUK – BENTUK PERSEKUTUAN PERDATA
Ada beberapa bentuk hukum persekutuan perdata yang dikenal dalam praktik, yaitu :
a.    Persekutuan perdata dapat terjadi antara pribadi-pribadi yang melakukan suatu pekerjaan bebas (profesi)misalnya, pengacara, dokter, akuntan, dan lain-lain. Asosiasinya tidak menjalankan perusahaan tetapi lebih mengutamakan orang-orang yang menjadi pesertanya dan juga tidak menjadi elemen modal organisatorisnya sebagai unsur utama.
b.    Perusahaan bertindak ke luar kepada pihak ketiga secara terang –terangan dan terus-menerus untuk mencari laba maka persekutuan perdata tersebut telah menjalankan perusahaan.
c.    Perjanjian kerja sama  dari suau transaksi sekali segera setempat. Contoh, kerja sama membeli barang secara bersama-sama dan kemudian dijual dengan mendapat laba.
VIII.    Jenis persekutuan perdata menurut pasal 1620 s/d 1623 KUHPerdata
Ada dua jenis persekutuan perdata, yaitu :
1.    Persekutuan Perdata Umum
Dimana para sekutu tidak secara tegas menentukan jenis barang serta berapa besar uangnya yang dimasukkan pada persekutuan. Berdasarkan pasal 1621 KUHPerdata, persekutuan perdata jenis umum ini sebenarnya dilarang karena menyulitkan dalam pembagian keuntungan dan tanggung jawab dalam hal terjadi kerugian karena tidak bisa adil.
Persekutuan perdata jenis ini diperkenankan juga asal diperjanjikan bahwa masing-masing sekutu akanmencurahkan seluruh kekuatan kerjanya untujk mendapatkan laba yang dapat dibagi antara para sekutu. Hal ini menut=rut Pasal 1622 KUHPerdata disebut persekutuan Perdata Keuntungan.
2.    Persekutuan Perdata Khusus
Dalam persekutuan perdata ini para sekutu secara tegas menentukan jenis barang serta berapa besarnya uang yang dimasukkan pasa persekutuan (Pasal 1623 KUHPerdata)
IX.    PENGURUSAN PERSEKUTUAN PERDATA
Pembebanan pengurusan persekutuan perdata menurut pasal 163601639 KUHPerdata dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu :
1.    Pengurus dari sekutu
a.    Statuter (statutaire) : sekutu yang mengurus persekutuan perdata yang diatur sekaligus bersama-sama akta pendirian persekutuan perdata. Selama berjalannya persekutuan perdata ini, sekutu statuter tidak dapat diberhentikan kecuali atas dasar alasan-alasan berdasarkan hukum.
b.    Mandater (Mandaoire) : sekutu yang mengurus persekutuan perdata yang diatur dengan akta tersendiri sesudah persekutuan perdata berdiri. Sekutu mandater kedudukannya sama dengan seorang pemegang kuasa di mana kuasanya sewaktu-waktu dapat dicabut.
2.    Pengurus bukan sekutu
Sebagai kuasa adalah orang luar yang dianggap cakap dan diangkat sebagai pengurus persekutuan perdata yang ditetapkan dengan kta perjanjian khusus atau ditetapkan dalam akta pendirian persekutuan perdata.
Pronsipnya, pengurusan tidak perlu sepakat dari sekutu, namun enguasaan harus sepakat dari sekutu.
X.    Pembagian kentungan dan kerugian persekutuan perdata
Prinsipnya bahwa keuntungan harus dibagi namun jika rugi tidak harus dibagi. Kemungkinan pembagian keuntungan (pasal 1633-1635 KUHPerdata) :
1.    Diperjanjikan diantara mereka (pasal 1635 KUHPerdata)
Ayat 1 : cara pembagian keuntungan dan kerugian oleh sekutu sebaiknya diatur dalam perjanjian pendirianpersekutuan.
Ayat 2 : bagian sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.
Dengan batasan:
2.    Pasal 1635 KUHPerdata
Ayat 1 : dengan ketentuan tidak boleh memberikan seluruh keuntungan hanya epada salah seorang sekutu saja.
Ayat 2 : boleh diperjanjikan jika seluruh kerugian hanya ditanggung oleh salah satu sekutu saja.
3.    Pasal 1634 (1) : penetapan pembagian keuntungan oleh pihak ketiga tidak diperbolehkan.
XI.    Tanggung jawab sekutu (Pasal 1642 s/d 1645 KUHPerdata)
Merupakan kewajiban untuk mengganti kerugian apabila perikatan yang sudah dijanjikan tidak dilaksanakan maka orang (sekutu) itu harus bertanggung jawab, sehingga dapat digugat untuk memenuhi prestasinya oleh pihak yang merasa dirugikan.
1.    Bila seorang sekutu mengadaan hubungan hukum dengan pihak ketiga, maka sekutu yang bersangkutan sajalah yang bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan hukum yang dilakukan dengan pihak ketiga walaupun ia mengatakan bahwa dia berbuat untuk kepentingan persekutuan.
2.    Perbuatan tersebut dapat mengikat sekutu-sekutu yang lain apabila :
a.    Nyata-nyata ada surat kuasa dari sekutu lain
b.    Hasil perbuatannya atau keuntungannya itu telah nyata-myata dinikmati oleh persekutuan.
3.    Apabila beberapa orang sekutu persekutuan perdata mengadakan hubungan dengan pihak ketiga maka para sekutu itu dapat dipertangungjawabkan sama rata, meskipun pemasukan mereka masing-masing tidak sama, kecuali apabila dalam perjanjian yang dibuat dengan pihak ketiga itu dengan tegas ditetapkan imbangan tanggung jawab masing-masing sekutu menurut perjanjian itu.
4.    Apabila seorang sekutu persekutuan perdata mangadakan paerjanjian atas nama persekutuan maka persekutuan dapat menuntut pelaksanaan perjanjian itu.
Pertanggungjawabannya pribadi untuk keseluruhan.
a.    Pasal 1131 KUHPerdata : segala harta kekayaan debitur, baik yang bergerak maupun yang tetap, baik yang sudah ada maupun yang akan ada merupakan jaminan bagi seluruh perikatannya.
b.    Pasal 1132 KUHPerdata : harta benda tersebut merupakan jaminan bagi semua kreditornya, hasil penjualan harta benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing kreditor kecuali bila di antara para kreditor itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.
XII.    Berakhirnya Persekutuan Perdata 
Suatu persekutuan perdata akan berakhir disebabkan oleh :
1.    Lampaunya waktu yang telah diperjanjikan
2.    Pengakhiran oleh salah satu atau beberapa sekutu.
3.    Musnahnya benda yang menjadi objek persekutuan dan selesainya perbbuatan yang menjadi pokok persekutuan.
4.    Kematian salah satu sekutu, adanya pengampuan atau dinyatakan kepailitan terhadap salah seorang sekutu.
5.    Pengakhiran berdasarkan alasan yang sah
6.    Selesainya perbuatan
7.    Adanya pengampuan atau kepailitan terhadap salah seorang sekutu.
Mengenai berakhirnya persekutuan perdata diatur di dalam pasal 1646-1652 KUHPerdata.
B.    PERSEKUTUAN FIRMA
Dalampersekutuan dengan firma terdapat beberapa pihak yang bersekutu untuk menjalankan suatu perusahaan dan sepakat memakai nama dari salah satu sekutu. Laba pada persekutuan dengan firma dibagi oleh/pada sekutu sesuai isi akta pendirian. Umumnya laba dibagi atas dasar banyaknya modal yang dimasukkan oleh masing-masing sekutu. Hal ini lazim disebut berdasar atas keseimbangan pemasukan. Cara lain dapat dilakukan asal tidak berttentangan dengan undang-undang.
I.    Pengertian
Persekutuan firma adalah perserikatan yang diadakan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. (Pasal 16 KUHD). Karena firma merupakan bagian dari perkumpulan maka memiliki unsur sebagai berikut :
a.    Kepentingan bersama
b.    Kehendak bersama
c.    Tujuan bersama
d.    Kerja sama
Sedangkan unsur yang dimiliki karena firma merupakan bagian dari perkatan perdata, yaitu :
•    Perjanjian timbal balik
•    Inbreng
•    Pembagian keuntungan
Di samping itu, pada persekutuan dengan firma memiliki corak khusus dibandingkan persekutuan perdata . kekhususannya terletak pada tiga unsur mutlak sebagai tambahan persekutuan perdata, yaitu :
a.    Menjalankan perusahaan (Pasal 16 KUHD)
b.    Dengan nama bersama atau firma (Pasal 16 KUHD)
c.    Tanggung jawab sekutu bersifat pribadi untuk keseluruhan. (pasal 18 KUHD)
Firma berarti nama bersama, yakni nama seorang sekutu yang dipergunakan menjadi nama perusahaan, namun dala praktiknya bisa salah satu nama seorang sekutu, salah satu nama seorang sekutu dengan tambahan, kumpulan nama seluruh atau sebagian sekutu, atau nama lain yang bukan nama sekutu dan bukan nama keluarga namun berkaitan dengan tujuan perusahaan.
II.    Dasar HUKUM
Pasal 16-35 KUHD dan pasal-pasal lainnya dalam KUH Perdata yang terkait.
III.    Pendirian persekutuan dengan firma
Pendirian persekutuan dengan firma sebenarnya tidak terikat dengan bentuk tertentu, artinya ia dapat didirika secara lisan maupun tertulis baik dengan akta autentik maupun dengan akta di bawah tangan, namun di dalam praktiknya masyarakat sering menggunakan akta autentik karena erat kaitannya dengan masalah pembuktian. Dalam Pasal 22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan dengan firma harus didirikan dengan akta autentik, tetapi ketiadaan akta tersebut tidak boleh dikemukakan sebagai dalih yang dapat merugikan pihak ketiga. Hal ini berarti keharusan tersebut tidak mutlak. Pasal 23-30 KUHD menyebutkan setelah akta pendirian dibuat maka harus didaftarkan di Kepaniteran PN di mana firma tersebut berkedudukan dan kemudian diumumkan ikhtisar akta pendirian dalam Berita Negara RI. Kewajiban untuk mendaftarkan dan mengumumkan tersebut merupakan keharusan yang bersaksi, karena selama pendaftaran dan pengumuman tersebut belum dilaksanakan maka pihak ketiga dapat menganggap persekutuan dengan firma tersebut sebagai persekutuan umum, yakni:
a.    Menjalankan segala macam urusan
b.    Didirikan untuk waktu yang tidak terbatas
c.    Tidak ada seorang sekutu pun yang dikecualikan dari kewenangan bertindak dan menandatangani surat bagi persekutuan dengan firma tersebut.
IV.    Tanggung Jawab Sekutu
Ada dua macam tanggung jawab, yaitu :
1.    Tangung jawab intern, dalam hal ini, tanggung jawab sekutu seimbang dengan inbreng/pemasukannya, khususnya dalam hal pembagian keuntungan.
2.    Tanggung jawab ekstern, dalam pasal 18 KUHD disebutkan tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan, artinya setiap sekutu bertanggung jawab atas semua perikatan persekutuan, meskipun dibuat sekutu lain, termasuk perikatan-perikatan yang timbul karena perbuatan melawan hukum dalam hal  kerugian.
V.    Pembagian keuntungan dan kerugian
Prinsipnya adalah keuntungan harus dibagi namun jika rugi tidak harus dibagi. Kemungkinan pembagian keuntungan (Pasal 1633-1635 KUHPerdta):
a.    Diperjanjikan di antara mereka. Ayat 1 : cara pembagian keuntungan dan kerugian oleh sekutu sebaiknya diatur dalam perjanjian pendirian persekutuan.
b.    Bila tidak diperjanjikan (Pasal 1633 KUHPerdata). Ayat 1:  pembagian berdasarkan perimbangan pemasukan secara adil dan seimbang. Ayat 2 : bagian sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerja hanya dipersamakan dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda terkecil/paling sedikit.
VI.    Kelebihan dan kekurangan
Pada persekutuan dengan firma terdapat beberapa kekurangan dan kelebihan, yaitu :
1.    Kelebihan:
a.    Kebutuhan akan modal lebih mudah terpenuhi jika dibandingkan dengan perusahaan perseorangan, sehingga modal dalam firma lebih besar.
b.    Tergabungnya alasan-alasan rasional karena sebagian besar tindakan yang didasarkan oleh musyawarah menghasilkan kebenaran dan mendatangkan keuntungan
c.    Perhatian sekutu yang sungguh-sungguh pada perusahaan di mana setiap sekutu pada persekutuan dengan firma bertanggungjawab tidak hanya pada tindakan-tindakannya sendiri tetapi juga pada tindakan dari sekutu lain.
2.    Kekurangan
a.    Tanggung jawab yang tidak terbatas dari sekutu dalam hal terjadi kerugian pada persekutuan dengan firma.
b.    Pimpinan dipegang lebih dari satu orang, hal ini dapat mengakibatkan perselisihan paham dalam hal kerja sama dan pelaksanaan masing-masing tugas sekutu.
c.    Adanya beberapa sebab persekutuan dengan firma akan berakhir.
d.    Penanaman modal beku (frozen capital). Bagi orang yang menginvestasikan modal pada persekutuan dengan firma bila dilihat dari sudut liquiditas merupakan tempat penanaman modal yang kurang baik, karena mudah dalam hal investasi tetapi agak sulit dalam  hal menarik kembali modal yang telah disetor ke persekutuan dengan firma.
VII.    Berakhirnya persekutuan dengan firma
Karena persekutuan dengan firma pada dasarnya adalah persekutuan perdata, maka mengenai bubarnya persekutuan dengan firma berlaku ketentuan yang sama dengan persekutuan perdata, yaitu pada pasal 1646-1652 KUHPerdata dan pasal 31-35 KUHD.

C.    PERSEKUTUAN KOMANDITER (CV/COMMANDITAIRE VENNOTSCHAP)
Bentik perusahaan yang di sebut dengan commanditaire vennotschap sering disingkat dengan “CV” atau dalam bahasa inggris disebut dengan “Limited Corporation”, merupakan suatu bentuk badan usaha yang didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih, dimana 1 (satu) orang atau lebih dan pendirinya adalah persero aktif, yakni yang aktif menjalankan perusahaan dan akan bertanggung jawab secara penuh atas kekayaan pribadinya, sementara 1 (satu) orang lain atau lebih merupakan persero pasif (persero komanditer), di mana dia hanya bertanggung jawab sebatas uang yang disetor saja. Dari pengertian CV di atas, terlihat bahwa bentuk usaha komanditer tersebut merupakan bentuk kombinasi antara perseroan terbatas dengan perusahaan firma karena CV memiliki karakteristik Perseroan Terbatas (PT) dan firma sekaligus.
Menurut Ridwan Khairandy, CV adalah persekutuan firma yang mempunyai satu atau lebih sekutu komanditer. Sedangkan Jamal Wiwoho  berpendapat bahwa CV adalah persekutuan di mana satu atau beberapa orang sekutu memercayakan uang atau barang kepada satu atau beberapa orang yang menjalankan perusahaan yang bertindak sebagai pimpinan.
Menurut pasal 19 KUHD, CV adalah perskutuan dengan jalan peminjaman uang (geldscheiter) atau disebut juga persekutuan komanditer, diadakan antara seorang sekutu ata lebih yang bertanggung jawab secara pribadi dan untuk seluruhnya dengan seorang atau lebih sebagai sekutu yang meminjamkan uang.
1.    Pengaturan
Commanditaire Vennotschap diatur dalam pasal 19-21 KUHD dan pasal-pasal lainnya dalam KUHPerdata yang terkait.
2.    Macam-macam sekutu dalam persekutuan komanditer
Ada dua macam, yaitu :
a.    Sekutu komanditer/sekutu diam/sekutu pasif/sleeping partner
Merupakan sekutu yang hanya memasukan uang atau benda ke kas persekutuan komanditer sabagai pemasukan dan berhak atas keuntungan dari persekutuan komanditer dan tidak ikut serta dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan komanditer.
b.    Sekutu biasa/ sekutu aktif/ sekutu kerja/sekutu komplementer.
Yaitu sekutu yang menjadi pengurus persekutuan komanditer atau mereka yang menjalankan dan memimpin perusahaan.
3.    Tanggung jawab
a.    Sekutu kerja  (Pasal 18 KUHD) tanggung jawabnya bersifat pribadi untuk keseluruhan.
b.    Sekutu komanditer (Pasal 20 ayat (3) KUHD) tanggung jawabnya hanya terbatas pada modal yang disetor namun dapat diperluas bila melanggar ketentuan Pasal 20 Ayat 2 KUHD yang berbuni sekutu komanditer tidak turut serta dalam pengurusan atau penguasaan dalam persekutuan komanditer maupun mencampuri urusan sekutu kerja. Sanksi bila pasal 20 (2) KUHD itu dilanggar adalah sekutu komanditer bertanggung jawab secara pribadi untuk keseluruhan.
4.    Macam-macam persekutuan komanditer
Menurut H.M.N. Purwosutdjipto ada tiga macam bentuk CV, yaitu :
a.    Persekutuan komanditer diam-diam
Yaitu persekutuan komanditer yang belum menyatakan deirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai persekutuan komanditer.
b.    Persekutuan komanditer terang-terangan
Persekutuan komanditer yang sudah menyatakan dirinya secara terang-terangan kepada pihak ketiga sebagai persekutuan komanditer.
c.    Persekutuan komanditer dengan saham
Yaitu persekutuan komanditer ang secara terang-terangan modalnya terdiri dari saham-saham. Hal ini tidak diatur dalam KUHD, karena dianggap sama seperti persekutuan komanditer biasa, hanya perbedaannya pada pembentukan modalnya, yaitu dengan cara mengeluarkan saham-saham.
5.    Berakhirnya persekutuan komanditer
Karena persekutuan komanditer pada hakikatnya adalah bentuk khusus dari firma sementara firma adalah bentuk khusus dari persekutuan perdata maka aturan mengenai berakhirnya persekutuan komanditer diatur dalam :
•    Pasal 1646 -1652 KUHPerdata
•    Pasal 31-35 KUHD
6.    Kelebihan dan kekurangan Persekutuan Komanditer
a.    Kebaikan :
•    Kebutuhan akan modal mudah dipenuhi di samping pendiriannya yang mudah
•    Lebih mudah memperoleh kredit
•    Kemampuan pimpinan persekutuan komanditer relatif lebih baik
•    Orang lebih suka menginvestasikan modalnya dan mencairkan kembali modalnya dengan mudah
b.    Kekurangan
•    Kelangsungan hidupnya tidak menentu karena tergantung dari sekutu komplementer yang bertindak sebagai pemimpin persekutuan
•    Semangat sekutu komanditer dalam memajukan perusahaan mengendor karena tanggung jawabnya terbatas dibandingkan sekutu dalam firma.





DIARIE

bagi teman teman yang mau cari tugas kuliah makalah, kliping atau materi hukum, teman-teman dapat pesan pada email saya
ariehaggywara@yahoo.com nanti akan saya kirimkan keemail teman teman..
materi kuliah yang ada antara lain:



1.      BAHASA INGGRIS

2.      ILMU NEGARA

3.      BAHASA INDONESIA

4.      HUKUM ACARA PERDATA

5.      HUKUM PERJANJIAN

6.      HUKUM AGRARIA

7.      HUKUM LAUT

8.      HUKUM LEMBAGA NEGARA

9.      HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

10.  DELIK-DELIK DALAM KUHP

11.  HUKUM HAK KEKAYAAN INTELEKTUAL

12.  HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

13.  HUKUM PENITENSIER

14.  ILMU PERUNDANG-UNDANGAN

15.  HUKUM LINGKUNGAN

16.  HUKUM ACARA PTUN

17.  HUKUM PEMERINTAHAN DAERAH

18.  PENGANTAR HUKUM INDONESIA

19.  PENGANTAR ILMU HUKUM

20.  HUKUM PERBANKAN

21.  PERANCANGAN KONTRAK

22.  HUKUM PERUSAHAAN

23.  HUKUM PIDANA EKONOMI

24.  HUKUM PIDANA KHUSUS

25.  HUKUM PAJAK

26.  METODE PENELITIAN DAN PENULISAN HUKUM

27.  HUKUM EKONOMI INTERNASIONAL

28.  POLITIK HUKUM

29.  HUKUM DAGANG

30.  KONSEPSI NEGARA HUKUM

31.  HUKUM PERDATA

32.  HUKUM TATA NEGARA

33.  HUKUM ASURANSI

34.  HUKUM ISLAM

35.  HUKUM ADAT

36.  HUKUM PIDANA

37.  HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

38.  PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

39.  HUKUM PERBURUHAN DAN TENAGA KERJA

40.  HUKUM ACARA PIDANA



Rabu, 05 Desember 2012

PENYELESAIAN SENGKETA DIPENGADILAN PAJAK



MAKALAH
PENYELESAIAN SENGKETA
DIPENGADILAN HUKUM PAJAK

OLEH
SYAHRIAL ARIE
BP.0910113276



FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2012


 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
           Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.
Saat ini, penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
terakhir diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
2.2 Pokok Permasalahan
Yang menjadi pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a.       Perangkat hukum apakah yang mengatur mengenai masalah perpajakan dan keberadaan Pengadilan Pajak?
b.      Bagaimanakah penegakan hukum di bidang perpajakan sebelum dan setelah adanya Pengadilan Pajak?
c.        Seberapa efketifkah pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia?
2.3 Metode Penulisan
Makalah ini disusun dengan menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan sumber penulisan dari bahan-bahan bacaan berupa buku, jurnal, majalah, surat kabar, internet, dan bahan pustaka lainnya.
2.4 Tujuan Penulisan
Secara umum, makalah ini diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi bagi pihak yang berkepentingan sehingga diharapkan tidak hanya mengetahui tetapi juga memahami aturan-aturan hukum perpajakan di Indonesia, khususnya mengenai lembaga Pengadilan Pajak.
Adapun secara khusus, makalah ini bertujuan sebagai berikut.;
1.       menjelaskan dasar hokum apa saja yang berlaku sebagai landasan perpajakan di Indonesia.
2.      menguraikan sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia yang berkaitan dengan masalah sengketa pajak dan penyelesaiannya.
3.      memaparkan kenyataan yang terjadi berhubungan dengan keberadaan Pengadilan Pajak sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II
PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA
2.1 Dasar-dasar Hukum Perpajakan
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.
Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur hal perpajakan.
Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a.       Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan.  Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b.      Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
c.        Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asas conveniency dan efisiensi).
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asasasas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini.
a.       Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b.      Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
c.       Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
d.      Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak dan fiskus.
e.        Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah apabila belumada bukti-bukti nyata.
2.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut.
“Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”
Seiring berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang. Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Maka, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai berikut.
a.       BPSP bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
1.      banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang berwenang;
2.      gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan perpajakan di bidang penagihan.
b.      Putusan BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hokum yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c.       Pengajuan banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.
a.       Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.
b.      Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c.        Jalur melalui peradilan umum.
Ditentukan pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan mengenai pidana pajak.
Walaupun tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Atas berbagai pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002). Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”
BAB III
KETENTUAN, KOMPETENSI, DAN PELAKSANAAN PENGADILAN PAJAK
3.1 Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk  melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan,   termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”
Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
3.2 Pelaksanaan Pengadilan Pajak di Indonesia
Lahirnya UU Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-olah Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002 secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai pada
Tingkat kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang menyatakan bahwa, “Dengan undangundang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang berkedudukan di ibukota Negara,” maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota Jakarta. Sama halnya  dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara lainnya.
Oleh karena karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya.
Kedudukan Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat dilakukan di tempat lain.”   Sementara tempat sidang yang dimaksud dalam pasal tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian, sebagai contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar, Majelis Sidang Pengadilan Pajak dapat bersidang di kota tersebut.
Pelaksanaan Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004, seorang pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review atas UU Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan oleh beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, menurutnya, Pengadilan Pajak merupakan bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif di bawah legislatif. Ia berpendapat bahwa undang-undang ini memuat materi yang melegitimasi kekuasaan pemerintahan terhadap warga negara. Oleh karena itu, perlu ada kontrol atau pengawasan dari legislative dan yudikatif terhadap pengadilan pajak. Hakim-hakim Pengadilan Pajak ia nilai belum diawasi secara baik sehingga warga negara selaku wajib pajak sering dikorbankan. Sebaiknya, ketergantungan hakim-hakim tersebut pada Menteri Keuangan harus diputus agar dapat independen dalam memutus sengketa pajak

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Dari pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a.       Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali diubah,  terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang- Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
b.      Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi, lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.
c.       Pelaksanaan Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi  landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum sesuai dengan amanat UUD 1945

4.2 Saran
Pembentukan suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan UUD 1945 sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat undang-undang harus memberikan tafsiran yang jelas atas undang-undang yang dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam memahami beberapa pasal dalam undang-undang.
Rekomendasi yang diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengoreksi aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan, khususnya Pengadilan Pajak. Dengan demikian, pembahasan RUU perpajakan yang baru dapat menghasilkan sebuah produk undang-undang yang berkualitas, mempunyai kepastian hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
 
DAFTAR PUSTAKA

Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan Pajak, No. 14 Tahun 2002.
“Pengawasan terhadap Hakim-hakim Pengadilan Pajak Belum Berjalan.”<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id =11117&cl= Berita>. 8 September 2004.