MAKALAH
PENYELESAIAN
SENGKETA
DIPENGADILAN
HUKUM PAJAK
OLEH
SYAHRIAL ARIE
BP.0910113276
FAKULTAS
HUKUM
UNIVERSITAS
ANDALAS
PADANG
2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pajak merupakan salah satu sumber
pemasukan kas negara yang digunakan untuk pembangunan dengan tujuan akhir
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, sektor pajak memegang
peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan bangsa. Namun, tak bisa
dipungkiri bahwa sulitnya Negara melakukan pemungutan pajak karena banyaknya
wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu tantangan
tersendiri. Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan
peringatan terlebih dahulu melalui Surat Pemberitahuan Pajak (SPP). Akan
tetapi, tetap saja banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan
tidak sedikit yang cenderung menghindari kewajiban tersebut.
Hal ini
mendorong pemerintah menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya
pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum. Salah satu mekanisme
tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan. Keberadaan lembaga
ini masih kontroversial. Beberapa kalangan beranggapan bahwa pemberlakuan
lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan. Di lain pihak, muncul pula
pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial
dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.
Saat ini,
penyelesaian permasalahan sengketa dibidang perpajakan telah memiliki sarana
dengan adanya Pengadilan Pajak. Sebelum Pengadilan Pajak berdiri, media yang
digunakan untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak adalah Majelis
Pertimbangan Pajak yang kemudian berkembang menjadi Badan Penyelesaian Sengketa
Pajak (BPSP). Hadirnya Pengadilan Pajak menimbulkan kerancuan mengingat obyek
sengketa pajak adalah Surat Ketetapan Pajak (SKP) yang masih merupakan lingkup
obyek Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Lahirnya
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor
14 Tahun 2002) memang terkesan memunculkan dualisme bahwa seolaholah Pengadilan
Pajak, yang hanya berkedudukan di Jakarta, itu berada di luar kekuasaan
kehakiman yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman (UU Nomor 14 Tahun 1970) sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 dan
terakhir
diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman (UU Nomor 4 Tahun 2004).
2.2 Pokok Permasalahan
Yang menjadi
pokok permasalahan dalam makalah ini adalah sebagai berikut.
a. Perangkat
hukum apakah yang mengatur mengenai masalah perpajakan dan keberadaan
Pengadilan Pajak?
b. Bagaimanakah
penegakan hukum di bidang perpajakan sebelum dan setelah adanya Pengadilan
Pajak?
c. Seberapa efketifkah pelaksanaan Pengadilan
Pajak di Indonesia?
2.3 Metode Penulisan
Makalah ini
disusun dengan menggunakan metode studi kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan
sumber penulisan dari bahan-bahan bacaan berupa buku, jurnal, majalah, surat
kabar, internet, dan bahan pustaka lainnya.
2.4 Tujuan Penulisan
Secara umum,
makalah ini diharapkan dapat memperluas wawasan pembaca dan menjadi referensi
bagi pihak yang berkepentingan sehingga diharapkan tidak hanya mengetahui
tetapi juga memahami aturan-aturan hukum perpajakan di Indonesia, khususnya
mengenai lembaga Pengadilan Pajak.
Adapun secara khusus, makalah
ini bertujuan sebagai berikut.;
1. menjelaskan dasar hokum apa saja yang berlaku
sebagai landasan perpajakan di Indonesia.
2. menguraikan
sejarah perkembangan perpajakan di Indonesia yang berkaitan dengan masalah
sengketa pajak dan penyelesaiannya.
3. memaparkan
kenyataan yang terjadi berhubungan dengan keberadaan Pengadilan Pajak sebagai
solusi untuk menyelesaikan masalah sengketa pajak.
BAB II
PERPAJAKAN
DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA
2.1 Dasar-dasar Hukum Perpajakan
Pajak
merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan
negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak
itu sendiri.
Pemungutan
pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara
singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga
UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”
Dahulu,
sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan
dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara
berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945
terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya
dalam mengatur hal perpajakan.
Peraturan
perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU
Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan
saat dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983
disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum
dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara
ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”.
Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa
pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek
perpajakan. Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus
ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu
bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih
dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan
menagih harus tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asas
conveniency dan efisiensi).
Selanjutnya,
sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional,
asasasas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah
ini.
a.
Kesederhanaan (simplification of law) Bahwa
undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga
mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b.
Kegotong-royongan nasional Bahwa warga masyarakat harus
berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban
kewarganegaraan.
c.
Pelimpahan kepercayaan sepenuhnya kewajiban perpajakan
kepada wajib pajak sendiri, maksud pemberian kepercayaan diharapkan agar warga
sadar akan kewajiban kenegaraan karena Negara sudah memberikan kepercayaan
untuk menghitung, memperhitungkan, membayar pajaknya sendiri. Kepercayaan yang
diberikan kepada masyarakat disebut self assessment.
d.
Adanya kesamaan hak dan kewajiban antara wajib pajak
dan fiskus.
e. Kepastian dan jaminan hokum Bahwa dalam
pelaksanaan pemungutan pajak harus dihormati adanya asas-asas kebenaran dan
asas praduga tak bersalah. Artinya, wajib pajak belum dinyatakan bersalah
apabila belumada bukti-bukti nyata.
2.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya
kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus
dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut.
Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan
munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah
sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa
dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia
Belanda, di negara ini telah ada badan penyelesaian sengketa pajak yang
dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad
van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak),
yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927
Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak (Regeling van
het Beroep in Belastingzaken). Selanjutnya, lembaga tersebut oleh
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang
tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak
negara dan pajak-pajak daerah. Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP
diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan
dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970.
UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi
sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan
permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan
mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”
Selanjutnya, ayat (2) pasal yang
sama menyebutkan sebagai berikut.
“Sebelum badan peradilan pajak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada
Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata
Usaha Negara.”
Seiring
berkembangnya aturan mengenai pajak dan semakin meningkatnya potensi sengketa
pajak, MPP dianggap sudah tidak memadai dalam melakukan penyelesaian sengketa
pajak. Oleh sebab itu, pemerintah merasa perlu membentuk lembaga peradilan di
bidang perpajakan yang lebih komprehensif dan dibentuk melalui undang-undang.
Tujuannya adalah menjamin hak dan kewajiban pembayar pajak sesuai dengan
undang-undang bidang perpajakan serta memberikan putusan hukum atas sengketa
pajak. Putusan lembaga peradilan pajak dapat dijadikan pedoman dalam
melaksanakan undang-undang perpajakan sehingga ketentuan-ketentuan di dalamnya
dapat memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak.
Maka,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1997 dibentuklah Badan Penyelesaian
Sengketa Pajak (BPSP) yang arah dan tujuan pembentukannya adalah sebagai
berikut.
a. BPSP
bertugas memeriksa dan memutus sengketa pajak berupa:
1.
banding terhadap pelaksanaan keputusan pejabat yang
berwenang;
2.
gugatan terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan
perpajakan di bidang penagihan.
b. Putusan
BPSP bersifat final dan mempunyai kekuasaan eksekutorial dan berkedudukan hokum
yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
c. Pengajuan
banding atau gugatan ke BPSP merupakan upaya hukum terakhir bagi pembayar pajak
dan putusannya tidak dapat digugat ke peradilan umum atau Peradilan Tata Usaha
Negara (PTUN).
Dalam
undang-undang tersebut juga ditentukan bahwa untuk mendapatkan keadilan
pengenaan pajak, wajib pajak dapat menempuh jalur-jalur sebagai berikut.
a.
Jalur keberatanpajak dan banding ke BPSP.
b.
Jalur melalui Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).
c.
Jalur melalui
peradilan umum.
Ditentukan
pula keberadaan BPSP sebagai badan peradilan pajak hanya untuk menyelesaikan
sengketa administratif, yaitu dari segi perhitungan dan akuntansi, bukan
mengenai pidana pajak.
Walaupun
tidak bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, BPSP pada kenyataannya belum
merupakan badan peradilan yang berpuncak di Mahkamah Agung. Oleh karena itu,
dibutuhkan suatu pengadilan pajak yang sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman
yang berlaku di Indonesia sekaligus mampu menciptakan keadilan dan kepastian
hukum dalam penyelesaian sengketa pajak.
Atas berbagai
pertimbangan tersebut, Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
Definisi pengadilan pajak dijelaskan dalam Pasal 2, yaitu “Pengadilan Pajak
adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi Wajib Pajak
atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa pajak.”
BAB III
KETENTUAN,
KOMPETENSI, DAN PELAKSANAAN PENGADILAN PAJAK
3.1 Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Sebagaimana
diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor
14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai
sengketa pajak. Pasal 1 butir 5 undang-undang ini menyebutkan pengertian
sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa
yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak
dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang
dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan
Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.”
Pengadilan
pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa
dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III
tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak.
Kekuasaan
Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua
jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk
dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
3.2 Pelaksanaan Pengadilan Pajak di
Indonesia
Lahirnya UU
Nomor 14 Tahun 2002 menimbulkan kesan adanya dualisme bahwa seolah-olah
Pengadilan Pajak berada di luar kekuasaan kehakiman yang diatur dalam UU Nomor
14 Tahun 1970. Namun, hal tersebut dapat ditepis karena UU Nomor 14 Tahun 2002
secara jelas menyatakan bahwa Pengadilan Pajak merupakan salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman di bidang pemeriksaan dan pemutusan sengketa di bidang
perpajakan. Kasus sengketa pajak yang sampai pada
Tingkat
kasasi menjadi kompetensi dari Ketua Muda Mahkamah Agung Bidang Perdata dan
Tata Usaha Negara. Sesuai dengan ketentuan Pasal 3 UU Nomor 14 Tahun 2002 yang
menyatakan bahwa, “Dengan undangundang ini dibentuk Pengadilan Pajak yang
berkedudukan di ibukota Negara,” maka Pengadilan Pajak hanya ada di ibukota
Jakarta. Sama halnya dengan Tax Court di Amerika Serikat, yang
hanya berkedudukan di Washington D.C. sebagai ibukota negara tersebut. Hal ini
berlaku pula di lembaga peradilan pajak di negara-negara lainnya.
Oleh karena
karakteristiknya yang unik, maka sifat Pengadilan Pajak adalah tidak harus in
persona (para pihak harus dihadirkan). Dalam Pengadilan Pajak yang
diperiksa hanyalah dokumen, yaitu berupa laporan keuangan, rekening bank, data
transaksi, mengenai omzet, dan sebagainya.
Kedudukan
Pengadilan Pajak yang hanya bertempat di Jakarta tidak menjadi penghalang bagi
para wajib pajak dan fiskus yang berdomisili di luar Jakarta dan luar Pulau
Jawa untuk dapat menyelesaikan sengketa pajak masing-masing. Hal ini didasarkan
pada ketentuan Pasal 4 (1) UU Nomor 14 Tahun 2002 yang berbunyi, “Sidang
Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya dan apabila perlu dapat
dilakukan di tempat lain.” Sementara tempat sidang yang dimaksud
dalam pasal tersebut ditetapkan oleh Ketua Pengadilan Pajak. Dengan demikian,
sebagai contoh, bagi wajib pajak dan fiskus yang bersengketa di Makassar,
Majelis Sidang Pengadilan Pajak dapat bersidang di kota tersebut.
Pelaksanaan
Pengadilan Pajak belum sepenuhnya berjalan lancar. Pada September 2004, seorang
pengusaha mengajukan permohonan uji materiil atau judicial review atas
UU Nomor 14 Tahun 2002 kepada Mahkamah Konstitusi. Pemohon merasa dirugikan
oleh beberapa ketentuan yang terdapat dalam undang-undang tersebut dan beberapa
pasal ia anggap bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu,
menurutnya, Pengadilan Pajak merupakan bentuk penggabungan kekuasaan yudikatif
di bawah legislatif. Ia berpendapat bahwa undang-undang ini memuat materi yang
melegitimasi kekuasaan pemerintahan terhadap warga negara. Oleh karena itu,
perlu ada kontrol atau pengawasan dari legislative dan yudikatif terhadap
pengadilan pajak. Hakim-hakim Pengadilan Pajak ia nilai belum diawasi secara
baik sehingga warga negara selaku wajib pajak sering dikorbankan. Sebaiknya,
ketergantungan hakim-hakim tersebut pada Menteri Keuangan harus diputus agar
dapat independen dalam memutus sengketa pajak
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari
pembahasan pada bab-bab terdahulu, hal-hal yang dapat disimpulkan dalam makalah
ini adalah sebagai berikut.
a.
Dasar hukum bidang perpajakan Indonesia yang utama
adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) sebagaimana telah beberapa kali
diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000. Sedangkan
dasar hukum pembentukan dan pelaksanaan Pengadilan Pajak adalah Undang- Undang
Nomor 14 Tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak (UU Nomor 14 Tahun 2002).
b.
Sejak 1959, pemerintah telah memiliki badan peradilan
pajak, yaitu Majelis Pertimbangan Pajak (MPP) yang selanjutnya diganti dengan
Badan Penyelesaian Sengketa Pajak (BPSP) pada 1997. Akan tetapi,
lembaga-lembaga tersebut belum merupakan badan peradilan yang berpuncak di
Mahkamah Agung. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu badan peradilan pajak yang
sesuai dengan sistem kekuasaan kehakiman yang berlaku di Indonesia sekaligus
mampu menciptakan keadilan dan kepastian hokum dalam penyelesaian sengketa
pajak, maka dibentuklah Pengadilan Pajak pada 2002.
c. Pelaksanaan
Pengadilan Pajak sebagai sebuah badan peradilan sengketa pajak yang independen
belum sepenuhnya terwujud. Banyak pihak berpendapat, dasar hukum yang menjadi
landasan Pengadilan Pajak belum memenuhi rasa keadilan masyarakat, dalam
hal ini para wajib pajak. Selain itu, beberapa pasal juga dikhawatirkan belum
sesuai dengan amanat UUD 1945
4.2 Saran
Pembentukan
suatu peraturan perundang-undangan harus tidak bertentangan dengan UUD 1945
sehingga pada pelaksanaannya tidak memunculkan suatu masalah. Lembaga pembuat
undang-undang harus memberikan tafsiran yang jelas atas undang-undang yang
dibuatnya untuk menghindari terjadinya multitafsir oleh masyarakat dalam
memahami beberapa pasal dalam undang-undang.
Rekomendasi
yang diberikan oleh para hakim konstitusi dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam mengoreksi aturan-aturan yang telah ada mengenai perpajakan, khususnya
Pengadilan Pajak. Dengan demikian, pembahasan RUU perpajakan yang baru dapat
menghasilkan sebuah produk undang-undang yang berkualitas, mempunyai kepastian
hukum, dan sesuai dengan rasa keadilan masyarakat.
DAFTAR
PUSTAKA
Handoko, Rukiah. Pengantar Hukum Pajak: Seri
Buku Ajar. Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000.
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Indonesia, Undang-Undang tentang Pengadilan
Pajak, No. 14 Tahun 2002.
“Pengawasan terhadap Hakim-hakim Pengadilan Pajak
Belum Berjalan.”<http://www.hukumonline.com/detail.asp?id =11117&cl=
Berita>. 8 September 2004.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar anda