SEJARAH HUKUM PERDATA
1.
HUKUM PERDATA BELANDA
Hukum perdata Belanda berasal dari hukum perdata Perancis (Code
Napoleon). Code Napoleon sendiri disusun berdasarkan hukum Romawi (Corpus Juris
Civilis) yang pada waktu itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Hukum
Privat yang berlaku di Perancis dimuat dalam dua kodifikasi (pembukuan suatu
lapangan hukum secara sistematis dan teratur dalam satu buku) yang bernama code
civil (hukum perdata) dan code de commerce (hukum dagang). Sewaktu Perancis
menguasai Belanda (1806-1813), kedua kodifikasi itu diberlakukan di negeri
Belanda. Bahkan sampai 24 tahun sesudah negeri Belanda merdeka dari Perancis
tahun 1813, kedua kodifikasi itu masih berlaku di negeri Belanda. Jadi, pada
waktu pemerintah Belanda yang telah merdeka belum mampu dalam waktu pendek
menciptakan hukum privat yang bersifat nasional (berlaku asas konkordansi).
Kemudian Belanda menginginkan Kitab Undang–Undang Hukum Perdata
tersendiri yang lepas dari kekuasaan Perancis. Maka berdasarkan pasal 100
Undang-Undang Dasar Negeri Belanda, tahun 1814 mulai disusun Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata (Sipil) atau KUHS Negeri Belanda, berdasarkan
rencana kodifikasi hukum Belanda yang dibuat oleh MR.J.M. KEMPER disebut
ONTWERP KEMPER. Sebelum selesai KEMPER meninggal dunia [1824] & usaha
pembentukan kodifikasi dilanjutkan NICOLAI, Ketua Pengadilan Tinggi Belgia
[pada waktu itu Belgia dan Belanda masih merupakan satu negara]. Keinginan
Belanda tersebut direalisasikan dengan pembentukan dua kodifikasi yang bersifat
nasional, yang diberi nama :
1.
Burgerlijk Wetboek yang disingkat BW [atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata-Belanda] – Dalam praktek kitab ini akan
disingkat dengan KUHPdt.
2.
Wetboek van Koophandel disingkat WvK [atau yang
dikenal dengan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang] - Dalam perkuliahan, kitab
ini akan disingkat dengan KUHD.
Pembentukan hukum perdata [Belanda] ini selsai tanggal 6 Juli 1830
dan diberlakukan tanggal 1 Pebruari 1830. Tetapi bulan Agustus 1830 terjadi
pemberontakan di bagian selatan Belanda [kerajaan Belgia] sehingga kodifikasi
ditangguhkan dan baru terlaksanan tanggal 1 Oktober 1838. Meskipun BW dan WvK
Belanda adalah kodifikasi bentukan nasional Belanda, isi dan bentuknya sebagian
besar serupa dengan Code Civil dan Code De Commerse Perancis. Menurut
Prof Mr J, Van Kan BW adalah saduran dari Code Civil hasil jiplakan yang
disalin dari bahasa Perancis ke dalam bahasa nasional Belanda.
2.
HUKUM PERDATA INDONESIA
Karena Belanda pernah menjajah Indonesia, maka KUHPdt.-Belanda ini
diusahakan supaya dapat berlaku pula di wilayah Hindia Belanda. Caranya ialah
dibentuk B.W. Hindia Belanda yang susunan dan isinya serupa dengan
BW Belanda. Untuk kodifikasi KUHPdt. di Indonesia dibentuk sebuah panitia yang
diketuai oleh Mr. C.J. Scholten van Oud Haarlem. Kodifikasi yang dihasilkan
diharapkan memiliki kesesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan
hukum dan keadaan di negeri Belanda. Disamping telah membentuk panitia,
pemerintah Belanda mengangkat pula Mr. C.C. Hagemann sebagai ketua Mahkamah
Agung di Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang diberi tugas istimewa untuk
turut mempersiapkan kodifikasi di Indonesia. Mr. C.C. Hagemann dalam hal tidak
berhasil, sehingga tahun 1836 ditarik kembali ke negeri Belanda. Kedudukannya
sebagai ketua Mahkamah Agung di Indonesia diganti oleh Mr.C.J. Scholten van Oud
Haarlem.
Pada 31 Oktober 1837, Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem di angkat
menjadi keua panitia kodifikasi dengan Mr. A.A. Van Vloten dan Mr. Meyer
masing-masing sebagai anggota. Panitia tersebut juga belum berhasil.Akhirnya
dibentuk panitia baru yang diketuai Mr.C.J. Scholten van Oud Haarlem
lagi,tetapi anggotanya diganti yaitu Mr. J.Schneither dan Mr. A.J. van Nes.
Pada akhirnya panitia inilah yang berhasil mengkodifikasi KUHPdt Indonesia maka
KUHPdt. Belanda banyak menjiwai KUHPdt. Indonesia karena KUHPdt. Belanda
dicontoh untuk kodifikasi KUHPdt. Indonesia. Kodifikasi KUHPdt. Indonesia diumumkan
pada tanggal 30 April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1948.
Setelah Indonesia Merdeka berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan
UUD 1945, KUHPdt. Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan dengan undang-undang baru berdasarkan Undang – Undang Dasar
ini. BW Hindia Belanda disebut juga Kitab Undang – Undang Hukun
Perdata Indonesia sebagai induk hukum perdata Indonesia.
Pasal 2 ATURAN
PERALIHAN UUD 1945
Segala Badan
Negara dan Peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan
yang baru menurut Undang-undang Dasar ini.
Yang dimaksud
dengan Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku bagi seluruh
Wilayah di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia adalah hukum
perdata barat [Belanda] yang pada awalnya berinduk pada Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata yang aslinya berbahasa Belanda atau dikenal dengan Burgerlijk
Wetboek dan biasa disingkat dengan B.W. Sebagaian materi B.W. sudah dicabut
berlakunya & sudah diganti dengan Undang-Undang RI misalnya mengenai
Perkawinan, Hipotik, Kepailitan, Fidusia sebagai contoh Undang-Undang
Perkawinan No.1 tahun 1974, Undang-Undang Pokok Agraria No.5 Tahun 1960.
3.
B.W./KUHPdt SEBAGAI HIMPUNAN TAK
TERTULIS
B.W. di Hindia Belanda sebenarnya diperuntukkan bagi penduduk
golongan Eropa & yang dipersamakan berdasarkan pasal 131 I.S jo 163 I.S.
Setelah Indonesia merdeka, keberlakuan bagi WNI keturunan Eropa & yang
dipersamakan ini terus berlangsung. Keberlakuan demikian adalah formal
berdasakan aturan peralihan UUD 1945. Bagi Negara Indonesia, berlakunya hukum
perdata semacam ini jelas berbau kolonial yang membedakan WNI berdasarkan
keturunannya [diskriminasi]. Disamping itu materi yang diatur dalam B.W.
sebagian ada yang tidak sesuai lagi dengan Pancasila dasar negara dan pandangan
hidup bangsa Indonesia serta tidak sesuai dengan aspirasi negara dan bangsa
merdeka. Berdasarkan pertimbangan situasi, kondisi sebagai negara dan bangsa
yang merdeka, maka dalam rangka penyesuaian hukum kolonial menuju hukum Indonesia
merdeka, pada tahun 1962 [Dr. Sahardjo, SH.-Menteri Kehakiman
RI pada saat itu] mengeluarkan gagasan yang menganggap B.W ( KUHPdt
) Indonesia sebagai himpunan hukum tak tertulis. Maka B.W. selanjutnya
dipedomani oleh semua Warga Negara Indonesia. Ketentuanyg sesuai boleh diikuti
dan yang tidak sesuai dapat ditinggalkan.
4.
SURAT EDARAN MAHKAMAH AGUNG RI NO. 3 TAHUN 1963
Berdasarkan gagasan Menteri Kehakiman Dr. Sahardjo, S.H. ini MA-RI
tahun 1963 mengeluarkan Surat Edaran No. 3 tahun 1963 yang ditujukan kepada
semua Ketua Pengadilan Negeri di seluruh Indonesia. Isi Surat Edaran
tersebut, yaitu MA-RI menganggap tidak berlaku lagi ketentuan di dalam KUHPdt.
antara lain pasal berikut :
- Pasal 108 & 110 BW tetang wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum & untuk menghadap dimuka pengadilan tanpa izin atau bantuan suaminya. Dengan demikian tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
- Pasal 284 [3] KUHPdt. mengenai pengakuan anak yang lahir diluar perkawinan oleh perempuan Indonesia asli. Dengan demikian pengakuan anak tidak lagi berakibat terputusnya hubungan hukum antara ibu dan anak, sehingga tentang hal ini juga tidak ada lagi perbedaan antara semua WNI.
- Pasal 1682 KUHPdt. yang mengharuskan dilakukannya suatu penghibahan dengan akta notaris.
- Pasal 1579 KUHPdt. yang menentukan bahwa dalam hal sewa menyewa barang, pemilik barang tidak dapat menghentikan penyewaan dengan mengatakan bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada watu membentuk persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan diperbolehkan
- Pasal 1238 KUHPdt. yang menimyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta dimuka Hakim, apabila gugatan ini didahului oleh suatu penagihan tertulis. Mahkamah Agung pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa, bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai penagihan oleh karena tergugat masih dapat menghindarkan terkabulannya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang pengadilan.
- Pasal 1460 KUHPdt. tetang resiko seorang pembeli barang, yang menentukan bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual. Sejak saat itu adalah atas tanggungan pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukan . Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari setiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertangungjawaban atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak ; dan kalau YA sampai dimana pertanggung-jawaban dimaksud.
- Pasal 1603 x ayat 1 dan 2 KUHPdt. yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropa disatu pihak dan orang bukan Eropa dilain pihak mengenai perjanjian perburuhan
5.
HUKUM PERDATA NASIONAL
Hukum perdata Indonesia adalah hukum perdata yang berlaku dan
diberlakukan di Indonesia. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia meliputi
juga hukum perdata barat dan hukum perdata nasional. Hukum perdata barat adalah
hukum bekas peninggalan kolonia Belanda yang berlaku di Indonesia berdasarkan
Pasal 2 aturan peralihan UUD 1945, mis. BW/KUHPdt. Hukum perdata nasional
adalah hukum perdata yang diciptakan Pemerintah Indonesia yang sah dan
berdaulat. Kriteria bahwa hukum perdata dikatakan nasional, yaitu :
a.
Berasal dari hukum perdata Indonesia. Hukum perdata barat sebagian sesuai dengan sistem nilai budaya
Pancasila. Hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai budaya Pancasila
dapat dan bahkan telah diresepsi oleh bangsa Indonesia.Oleh karena itu ia dapat
diambil alih dan dijadikan bahan hukum perdata nasional. Disamping Hukum
perdata barat, juga hukum perdata tak tertulis yang sudah berkembang sedemikian
rupa sehingga mempunyai nilai yang dapat diikuti dan dipedomani oleh seluruh
rakyat Indonesia. Dapat diambil dan dijadikan bahan hukum perdata nasional.
Untuk mengetahui hal ini tentunya dilakuan penelitian lebih dahulu
terutama melalui Yurisprudensi. Dalam Ketetapan MPR No.IV/MPR/1978 Jo.
Ketetapan MPR No.II/MPR/1988 tentang GBHN, terutama pembangunan di bidang hukum
antara lain dinyatakan bahwa pembinaan hukum nasional didasarkan pada
hukum yang hidup didalam masyarakat . Hukum yang hidup dalam masyarakat
dapat diartikan antara lain hukum perdata barat yang sesuai dengan sistem nilai
budaya Pancasila, hukum perdata tertulis buatan Hakim atau yurisprudensi dan
hukum adat.
b.
Berdasarkan Sistem Nilai Budaya Pancasila. Hukum perdata nasional harus didasarkan pada sistem nilai budaya
Pancasila, maksudnya adalah konsepsi tentang nilai yang hidup dalam alam
pikiran sebagian besar anggota masyarakat. Apabila nilai yang dimaksud adalah
nilai Pancasila maka sistem nilai budaya disebut sitem nilai budaya Pancasila.
Sistem nilai budaya demkian kuat meresap dalam jiwa anggota masyarakat sehingga
sukar diganti dengan nilai budaya lain dalam waktu singkat. Sistem nilai budaya
Pancasila berfungsi sebagai sumber dan pedoman tertinggi bagi peraturan hukum
& perilaku anggota masyarakat bangsa Indonesia. Dengan demikian dapat diuji
benarkah peraturan hukum perdata barat. Hukum perdata tidak tertulis, buatan
hakim/yurisprudensi & peraturan hukum adat yang akan diambil sebagai
bahan hukum perdata nasional bersumber, berpedoman, apakah sudah sesuai dengan
sistem nilai budaya Pancasila? Jika jawabnya YA benarkah peraturan hukum
perdata yang diuraikan tadi dijadikan hukum perdata nasional.
c.
Produk Hukum Pembentukan Undang – Undang
Indonesia. Hukum perdata nasional harus produk hukum
pembuat Undang-Undang Indonesia. Menurut UUD 1945 pembuat Undang-Undang
adalah Presiden bersama dengan DPR [pasal 5 ayat 1 UUD 1945]. Dalam
GBHN-pun digariskan bahwa pembinaan & pembentukan hukum nasional diarahkan
pada bentuk tertulis. Ini dapat diartikan bahwa pembentukan hukum perdata
nasional perlu dituangkan dalam bentuk Undang-Undang bahkan diusahakan
dalam bentuk kondifikasi. Jika dalam bentuk Undang-Undang maka hukum perdata
nasional harus produk hukum pembentukan Undang-Undang Indonesia. Contoh
Undang-Undang Perkawinan No.1/1974, Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960.
d.
Berlaku Untuk Semua Warga Negara Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku untuk semua Warga Negara
Indonesia, tanpa terkecuali dan tanpa memandang SARA. Warga Negara Indonesia
adalah pendukung hak dan kewajiban yang secara keseluruhan membentuk satu
bangsa merdeka yaitu Indonesia. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua
WNI berarti menciptakan unifikasi hukum sesuai dengan GBHN. Dan melenyapkan
sifat diskriminatif sisa politik hukum kolonia Belanda. Unifikasi hukum
tertulis yang ada sekarang sudah dikenal, diikuti dan berlaku umum dalam
masyarakat.
e.
Berlaku Untuk Seluruh Wilayah Indonesia. Hukum perdata nasional harus berlaku bagi seluruh wilayah Indonesia.
Wilayah Indonesia adalah wilayah negara RI termasuk perwakilan Indonesia di
luar negeri. Keberlakuan hukum perdata nasional untuk semua WNI di
seluruh wilayah Indonesia merupakan unifikasi hukum perdata sebagai pencerminan
sistem nilai budaya Pancasila terutama nilai dalam sila ke tiga “
Persatuan Indonesia” Hal ini sesuai dengan GBHN mengenai pembinaan hukum
nasional.
SUMBER-SUMBER
HUKUM PERDATA
1.
Arti Sumber Hukum. Yang dimaksud dengan sumber hukum perdata adalah asal mula hukum
perdata, atau tempat dimana hukum perdata ditemukan . Asal mula menunjukank
kepada sejarah asal dan pembentukanya. Sedangan tempat menunjukan kepada
rumusan dimuat dan dapat dibaca .
2.
Sumber dalam arti formal. Sumber dalam arti sejarah asal nya hukum perdata adalah hukum
perdata buatan pemerintah kolonia Belanda yang terhimpun dalam B.W ( KUHPdt ) .
Berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 B. W ( KUHPdt ) dinyatakan tetap berlaku
sepanjang belum diganti dengan undang – undang baru berdasarkan UUD 1945.
Sumber dalam arti pembentukannya adalah pembentukan undang – undang berdasarkan
UUD 1945. UUD 1945 ditetapkan oleh rakyat Indonesia yang didalamnya termasuk
juga aturan peralihan.Atas dasar aturan peralihan B.W ( KUHPdt ) dinyatakan
tetap berlaku. Ini berarti pembentukan UUD Indonesia ikut dinyatakan berlakunya
B. W ( KUHPdt ). Sumber dalam arti asal mula disebut sumber hukum dalam arti
formal.
3.
Sumber dalam Arti Material. Sumber dalam arti “tempat” adalah Lembaran Negara atau dahulu
dikenal dengan istilah Staatsblad, dimana dirumuskan ketentuan
Undang-Undang hukum perdata dapat dibaca oleh umum. Misalnya Stb.1847-23
memuat B.W/KUHPdt. Selain itu juga termasuk sumber dalam arti tempat dimana
hukum perdata pembentukan Hakim . Misalnya yurisprudensi MA mengenai
warisan, badan hukum, hak atas tanah. Sumber dalam arti tempat disebut sumber
dalam arti material. Sumber Hukum perdata dalam arti material umumnya masih
bekas peninggalan zaman kolonia, terutama yang terdapat di dalam Staatsblad.
Sedang yang lain sebagian besar berupa yurisprudensi MA-RI & sebagian kecil
saja dalam Lembaran Negara RI.
KODIFIKASI DAN SISTEMATIKA
1.
Himpunan Undang-Undang & Kodifikasi. Bidang hukum tertentu dapat dibuat & dihimpun dalam bentuk
Undang-Undang biasa dan dapat pula dalam bentuk kodifikasi. Bidang hukum
tertentu bidang misalkan, hukum perdata, pidana, dagang, acara perdata, acara
pidana, tata negara. Apabila dibuat dan dihimpun dalam bentuk Undang-Undang
biasa, maka Undang-Undang yang telah diundangkan dalam lembaran negara masih
memerlukan peraturan pelaksanaan yang terpisah dalam bentuk tertentu, mis. PP,
PerPres. Dengan demikian Undang-Undang yang dibuat belum dapat dilaksanakan
tanpa dibuat peraturan pelaksananya. Undang-Undang & peraturan
pelaksanaannya dapat dihimpun dalam satu bundle peraturan perundang-undangan.
Himpunan ini disebut “himpunan peraturan-perundangan” mis. himpunan peraturan
agraria, himpunan peraturan perkawinan, himpunan peraturan. Apabila
Undang-Undang dibuat dalam bentuk kodifikasi, maka unsur-unsur yang perlu
dipenuhi adalah :
q meliputi bidang hukum tertentu
q tersusun secara sistematis
q memuat materi yang lengkap
q penerapannya memberikan penyelesaian tuntas
Bidang hukum
tertentu yang bisa dikodifikasikan & sudah pernah terbentuk misalnya bidang
hukum perdata dagang, hukum pidana, hukum acara perdata dan acara pidana .
Materi bidang hukum yang dikodifikasikan tersusun secara sistematis artinya
disusun secara berurutan, tidak tumpang tindih dari bentuk dan pengertian umum
kepada bentuk & pengertian khusus. Tidak ada pertentangan materi antara
pasal sebelumnya dan pasal berikutnya. Memuat materi yang lengkap , artinya bidang
hukum termuat semuanya. Memberikan penyelesaian tuntas , artinya tidak lagi
memerlukan peratuaran pelaksana semua ketentuan langsung dapat diterapakan dan
diikuti. Kodifikasi berasal dari kata COPE [Perancis] artinya kitab
Undang-Undang. Kodifikasi artinya penghimpunan ketentuan bidang hukum tertentu
dalam kitab Undang-Undang yang tersusun secara sistematis, lengkap dan
tuntas. Contoh kodifikasi ialah Burgelijk Wetboek, Wetboek van
Koophandel,Failissement Verordening, Wetboek van Strafecht.
2.
Sistematika Kodifikasi. Sistematika artinya susunan yang teratur secara sistematis.
Sistematika kodifikasi artinya susunan yang diatur dari suatu kodifikasi.
Sistematika meliputi bentuk dan isi kodifikasi. Sistematika kodifikasi hukum
perdata meliputi bentuk dan isi. Sistematika bentuk Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata meliputi urutan bentuk bagian terbesar sampai pada bentuk bagian
terkecil yaitu :
q kitab undang – undang tersusun atas buku – buku
q tiap buku tersusun atas bab – bab
q tiap bab tersusun atas bagian – bagian
q tiap bagian tersusun atas pasal – pasal
q tiap pasal tersusun atas ayat – ayat
Sistematika Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata meliputi kelompok materi berdasarkan sitematika
fungsi. Sistematika fungsional ada 2 macam yaitu menurut pembentuk
Undang-Undang & menurut ilmu pengetahuan hukum. Sistematika isi menurut
pembentukan B.W miliputi 4 kelompok materi sebagai berikut :
I.
kelompok materi mengenai orang
II.
kelompok materi mengenai benda
III. kelompok nateri mengenai perikatan
IV. kelompok materi mengenai pembuktian
Sedangkan
sistematika menurut ilmu pengetahuan hukum ada 4 yaitu :
I.
kelompok materi mengenai orang
II.
kelompok materi mengenai keluarga
III. kelompok materi mengenai harta kekayaan
IV. kelompok materi mengenai pewarisan
Apabila
sistematika bentuk dan isi digabung maka ditemukan bahwa KUHPdt. Terdiri dari :
I.
Buku I mengenai Orang
II.
Buku II mengenai Benda
III. Buku II mengenai Perikatan
IV. Buku IV mengenai Pembuktian
SISTEMATIKA
KUHPdt.
Mengenai sistematika isi ada perbedaan antara sistematika KUHPdt.
Berdasarkan pembentuk Undang-Undang dan sistematika KUHPdt. Berdasarkan ilmu
pengetahuan hukum. Perbedaan terjadi, karena latar belakang penyusunannya.
Penyusunan KUHPdt. didasarkan pada sistem individualisme sebagai pengaruh
revolusi Perancis. Hak milik adalah hak sentral, dan tidak dapat diganggu gugat
oleh siapapun. Hak dan kebebasan setiap individu harus dijamin. Sedangkan
sisitematika berdasarkan ilmu pengetahuan hukum didasarkan pada perkembangan
siklus kehidupan manusia yang selalu melalui proses lahir-dewasa-kawin–cari
harta/nafkah hidup–mati (terjadi pewarisan ). Dengan demikian perbedaan
sistematika tersebut dapat dilihat sebagai berikut :
I.
Buku I KUHPdt. memuat
ketentuan mengenai manusia pribadi dan
keluarga (perkawinan) sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketetuan mengenai
pribadi dan badan hukum, keduanya sebagai pendukung hak dan kewajiban.
II.
Buku II KUHPdt. memuat ketentuan mengenai benda
dan waris. Sedangkan ilmu pengetahuan hukum mengenai keluarga (perkawinan dan
segala akibatnya).
III. Buku III KUHPdt. memuat ketentuan mengenai perikatan. Sedangkan ilmu
pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai harta kekayaan yang meliputi benda
dan perikatan.
IV. Buku IV KUHPdt. memuat ketentuan mengenai bukti dan daluwarsa.
Sedangkan ilmu pengetahuan hukum memuat ketentuan mengenai pewarisan, sedangkan
bukti dan daluarsa termasuk materi hukum perdata formal (hukum acara perdata).
BERLAKUNYA HUKUM PERDATA
Berlaku artinya diterima untuk dilaksanakan. Berlakunya hukum perdata
artinya diterimanya hukum perdata untuk dilaksanakan . Adapun dasar berlakunya
hukum perdata adalah ketentuan undang – undang , perjanjian yang dibuat oleh
pihak, dan keputusan hakim. Realisasi keberlakuan adalah pelaksanaan kewajiban
hukum yaitu melaksanakan perintah dan menjauhi larangan yang ditetapkan oleh
hukum. Kewajiban selalu diimbangi dengan hak.
1.
Ketentuan Undang-Undang. Berlakunya hukum perdata karena ketentuan Undang-Undang artinya
Undang-Undang menetapkan kewajiban agar hukum dilaksanakan. Undang-Undang
mengikat semua orang atau setiap orang wajib mematuhi Undang-Undang, yang jika
tidak patuhi akan disebut sebagai pelanggaran. Berlakunya hukum perdata ada
bersifat memaksa dan bersifat sukarela. Bersifat memaksa artinya kewajiban
hukum harus dilaksanakan baik dengan berbuat atau tidak berbuat. Pelaksanan
kewajiban hukum dengan berbuat misalnya :
a.
Dalam perkawinan, kewajiban untuk memenuhi
syarat & prosedur kawin supaya memperoleh hak kehidupan suami isteri;
b.
Dalam mendirikan yayasan kewajiabn memenuhi
syarat akta Notaris, supaya memperoleh hak status hukum;
c.
Dalam perbuatan melanggar hukum kewajiban
membayar kerugian kepada yang dirugikan.
d.
Dalam jual beli kewajiban pembeli membayar harga
barang supaya memperoleh hak atas barang yang dibeli
Pelaksanaan
kewajiban hukum untuk tidak berbuat misalnya :
a.
Dalam perkawinan, kewajiban tidak mengawini
lebih dari seorang wanita dalam waktu yang sama supaya memperoleh predikat
monogami.
b.
Dalam ikatan perkawinan, kewajiban tidak
bersetubuh dengan wanita/pria yang bukan istri/suami sendiri, supaya memperoleh
hak atas status suami atau isteri yang baik, jujur, tidak menyeleweng
c.
Dalam karya cipta, kewajiban untuk tidak
membajak hak cipta milik orang lain , sehingga berhak untuk bebas dari
penututan.
Sukarela berarti
terserah pada kehendak yang bersangkutan apakah bersedia melaksanakan kewajiban
tersebut atau tidak [tidak ada paksaan], kewajiaban tersebut menyangkut
kepentingan sendiri. Dalam pelaksanaan kewajiban sukarela saksi hukum tidak
berperan. Adapun kewajiban hukum karena adanya hubungan hukum. Hubungan hukum
tersebut ditetapakan oleh undang – undang . Jadi Undang-Undang menciptakan
hubungan hukum antara para pihak. Hubungan mengandung kewajiban dan hak yang
bertimbal balik antara pihak pihak. Hubungan hukum dapat tercipta karena adanya
peristiwa hukum karena :
a. kejadian misalnya kelahiran, kematian;
b. perbuatan misalnya jual beli, sewa menyewa
c. keadaan misalnya letak rumah, batas antara dua pihak
Dalam
Undang-Undang ditentukan bila terjadi kelahiran, maka timbul hubungan
hukum antara orang tua dan anak yaitu hubungan timbal balik adanya hak
dan kewajiban
2.
Perjanjian antar para pihak. Hukum perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian.
Artinya perjanjian yang dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban
hukum untuk dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang
membuatnya. Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang
membuatnya. Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338
KUHPdt). Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang
membuatnya. Hubungan hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara
para pihak. Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan
perjanjian misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. Ada 2 macam
perjanjian yaitu :
1. Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian
yang menimbulkan kewajiban dan hak yang bertimbal balik mengenai harta
kekayaan. Ada 2 jenis :
q perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf
melahirkan kewajiban dan hak;
q perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf
memindahkan hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2. Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang
menimbulkan kewajiban dan hak suami isteri secara bertimbal balik dalam
hubungan perkawinan. Perjanjian terletak dalam bidang moral dan
kesusilaan.
Supaya penerimaan
kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian
tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.
3.
Keputusan Hakim. Hukum perdata berlaku karena ditetapkan oleh hakim melalui putusan.
Hal ini dapat terjadi karena ada perbedaan dalam hukum perdata. Untuk
menyelesaikannya dan menetapkan siapa sebenarnya berkewajiban dan berhak
menuntut hukum perdata, maka hakim karena jabatanya memutuskan sengketa
tersebut. Putusan hakim bersifat memaksa artinya jika ada pihak
yang tidak mematuhinya, hakim dapat memerintahkan pihak yang bersangkutan
supaya mematuhi dengan kesadaran sendiri. Jika masih tidak
mematuhinya hakim dapat melaksanakan putusannya dengan paksa, bila perlu
dengan bantuan alat negara.
4.
Akibat Berlakunya Hukum Perdata. Sebagai akibat berlakunya hukum perdata, yaitu adanya pelaksanaan
pemenuhan [prestasi] dan realisasi kewajiban hukum perdata. Ada 3
kemungkinan hasilnya yaitu [1] tercapainya tujuan apabila kedua belah
pihak memenuhi kewajiban dan hak timbal balik secara penuh [2] tidak tercapai
tujuan, apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajiban [3] terjadi keadaan
yang bukan tujuan yaitu kerugian akibat perbuatan melanggar hukum. Apabila
kedua belah pihak tidak memenuhi kewajiban hukum yang telah ditetapkan dalam
perjanjian tidak akan menimbulkan kewajiban. Sebab kewajiban hukum pada
hakekatnya baru dalam taraf diterima untuk dilaksanakan. Jadi belum
dilaksanakan kedua belah pihak . Tetapi apabila salah satu pihak telah
melaksanakan kewajiban hukum sedang pihak lainnya belum/tidak melaksanakan
kewajiban hukum barulah ada masalah wanprestasi yang mengakibatkan tujuan
tidak tercapai, sehingga menimbulkan sanksi hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan komentar anda